Pengalaman dan Pasangan


Hallo, sudah lama sekali tak menambah postingan baru sejak April 2016. Mungkin di sini, bahasa saya 'agak' resmi, karena memang ingin berbicara serius. Tentang apa yang saya inginkan di masa depan. Tentang perjalanan hidup, persahabatan, dan ya, masa depan. Singkatnya, tentang pasangan. Juga tentang beberapa pengalaman.

Jujur, saya baru dua kali pacaran, setidaknya bersyukur hanya dua kali. Sehingga tidak banyak dosa menghantui ketika memiliki pasangan sebelum menikah. Saya bukan perempuan dengan akhlak yang baik benar. Saya menutup kepala dengan jilbab, tapi hanya kepala. Saya masih memakai celana. Selain itu, perilaku saya masih belum utuh benar disebut perempuan. Saya mulai malu ketika mengetik bagian ini. Apalagi ibadah wajib belum saya jalankan dengan tertib.

memantaskan diri?
Bukannya iri dengan mereka yang berpasangan, berstatus halal tentunya. Tapi lebih kepada memantaskan diri. Astaga, saya mulai terlalu serius tampaknya. Memang, ada banyak kriteria pria yang saya inginkan. Harus begini, begitu, bisa ini, mampu itu, tapi itu tak menjamin ketika dia ternyata tidak mendapat yang sepantasnya. Oleh sebab itu, saya harus mempersiapkan diri agar berhak memperoleh apa saya mau. Begitu juga dia, seorang pria yang digariskan bersama saya, di mana pun dia saat ini.

Jodoh memang urusan Tuhan. Tapi, bukan berarti manusia bisa berleha-leha mengingat semuanya sudah digariskan, seolah pasti mendapatkan. Aduh, saya mulai terbawa perasaan. Saya hanya ingin yang terbaik. Ah klise. Semua mau yang terbaik, bukan? Siapa yang tak mau? Intinya, jalani apa yang sekarang. Sambil memantaskan diri. Insya Allah.

Sebenarnya tidak melulu soal tampang. Toh pada prinsipnya, senakal-nakalnya pria, ia pasti menginginkan Ibu yang baik untuk anak-anaknya. Yah, walaupun calon Ibu yang baik belum tentu mau dengan pria nakal, he he he. Setidaknya berusaha jadi calon Ibu yang baik dulu sajalah. Urusan tampang, itu nanti saja dulu. Pria yang baik tak akan mempermasalahkan tampang dengan terlalu.

Saya juga tak mempermasalahkan tampang. Dari beberapa pria yang ada di lingkaran pertemanan, ada beberapa menarik perhatian. Poin utamanya pada gaya pembicaraan ketika saling berbalas pesan. Ada pembahasan mengalir. Dan, dengan senyum di akhir. Kadang sesederhana itu jatuh cinta. Urusan mata melihat nanti saja, yang penting nyaman.

Cinta pada pandangan pertama? Saya tak percaya. Pada percakapan pertama? Baru saya mengakuinya. Sebab, cinta bukan soal mata saja. Walau tak dimungkiri, dari mata turun ke hati. Walau tak munafik, sebagian besar pria tertarik dengan perempuan bertampang indah. Sebab, kata psikolog yang pernah saya jumpai, pria itu lebih memilih tampang dan sangat menyukai keindahan.

Well, saya yakin bahwa semua ada porsinya. Sesuai 'rundown' yang Tuhan buat dan saya mainkan, tergantung bagaimana pandai memainkan sesuai urutan. Termasuk ketika ada banyak 'teman' yang membuat saya jadi harus menghela napas panjang dan senyum menguatkan di sisa hari. Termasuk pula ketika 'mereka' membuat saya kecewa, hingga akhirnya tak ingin lagi terlalu dekat dengan 'mereka'.

Ini semua tentang kedewasaan. Cukup dewasa menerima salah dan memilih untuk memaafkan, tapi, dengan tidak lupa pada kesalahannya. Termasuk pilihan ketika ingin kembali percaya, atau mengembalikan semuanya pada keadaan semula, saat belum kenal mungkin.

Ahh, intinya, saya cukup bahagia begini. Sisanya? Harus pandai mensyukuri. Ohya, tulisan ini hadir bukan karena hal-hal negatif yang ada di pikiran teman-teman saat ini. Hanya sebuah catatan kecil, tentang pengalaman dan keinginan hidup, di antaranya tentang pasangan. Jika Anda yang mengartikan sebagai sebuah bentuk kehilangan harapan atau putus asa, monggo. Itu hak teman-teman, termasuk hak saya untuk menolak menerimanya.

Satu lagi, ini mungkin jadi tulisan terakhir sampai September mendatang. Sebab, saya akan pergi KKN pada 12 Juli nanti di Desa Tanjung Labu, kurang lebih 350 kilometer dari Samarinda, selama 50 hari lamanya. Sebuah desa dengan rumor, listrik tersedia hanya 6 jam, sejak sore hingga tengah malam. Sebuah desa nun jauh di sana, pedalaman Kutai Timur. Doakan saja saya akan menceritakan kisahnya di sini. Kisah hebat saya bersama warga desa di sana, tentang meninggalkan jejak berharga sehingga saya layak menyandang gelar MAHAsiswa hingga 7 semester ini. Sampai ketemu September nanti. Mohon maaf lahir dan batin :)

Komentar

  1. wah bakal jarang ngeblog lagi ya mbaaa.... T.T , nnti sesudah KKN sharing dong KKN nya gimana :v

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

OSIS & MPK SMAKENSA dimata para pengurusnya~

Kerajinan Manik Khas Kalimantan Timur

Drama Sebelum Berangkat, Magang Setneg (1)