Cerita Si Kaki Satu

Seperti biasa. Setiap pagi pekerjaanku hanya diam dan menanti cerita-cerita seru yang mungkin akan terjadi. Ralat. Bukan hanya setiap pagi, aku melakukannya setiap saat, satu hari 24 jam, satu minggu 7 hari. Hanya ini yang bisa aku lakukan. Lagipula, apa yang kau harapkan dari lampu merah berusia 35 tahun ini?

sumber: wartakota.tribunnews.com
Iya. Iya. Aku hanyalah lampu merah. Tak usah kau tanya kenapa aku bisa menjadi seperti ini. Ceritanya panjang, aku juga berani taruhan pasti akan sangat bosan jika aku menceritakan awal mula kenapa bisa mendapatkan pekerjaan ini. Cerita yang panjang jika kau ingin dengar tentunya, tapi aku rasa tidak usah saja. Pekerjaanku sepele, hanya cukup menghitung berapa lama harus menyalakan lampu merah dan hijau. Jangan lupa lampu kuning tentunya.

Sebenarnya bukan pekerjaan sepele juga. Aku bertanggung jawab atas kelancaran lalu lintas. Pernah satu waktu, saat aku ketiduran, deretan panjang kendaraan mengular dan telingaku hampir tuli karena semua kendaraan itu terus menekan klakson. Dasar manusia! Tidak pernah mau sabar! Kuberitahu kau! Kau bukan raja jalanan!

Mereka tidak pernah mau mendengar apa alasanku ketiduran. Mereka terus saja menekan klakson. Iya. Percuma juga aku menjelaskan, toh, mereka tak mengerti bahasaku. Yang mengerti hanya teman-temanku, Trotoar, Marka Jalan, Daun, dan Pohon. Tapi tetap saja. Dasar manusia! Tidak mau dengar penjelasan! Kuberitahu kau! Kau bukanlah yang tahu tentang segalanya!

Padahal semalaman konsentrasiku terbagi dengan seorang gadis kecil. Gadis berkuncir satu, tanpa alas kaki, bermata sendu mengenakan kaos biru malam polos yang terdapat banyak bercak cokelat. Gadis kecil itu pemandangan baru. Aku melihatnya turun dari mobil jip dan jatuh terduduk. Ia menangis. Tanpa suara. Ia tampak kesakitan.

“Hei,” aku memanggilnya. Ahh... aku lupa, aku hanya lampu merah. Dia mendongakkan kepala, mengusap bekas-bekas air mata di pipinya.

“Gadis kecil?” ucapku perlahan.

“Siapa itu?”

Dadaku seketika sesak. Aku merasa sangat bahagia. “Kau... kau bisa mendengarku?”

“Iya. Kamu siapa?” kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari asal suara.
Ahh... aku sungguh terharu. Akhirnya ada juga yang bisa diajak bicara selain teman-teman yang aku ceritakan tadi. “Gadis kecil? Aku di sini, di depanmu. Melangkahlah perlahan kemari,” kataku.
Ia menoleh ke arahku. Rasanya ingin menangis, tapi itu cuma perasaan saja, tak mungkin aku mengeluarkan air mata. Gadis kecil yang kuperkirakan 7 tahun itu mendekat dan mendongak. Melihat ke arahku. Matanya sangat cerah, bulu matanya lentik sekali.
“Anda yang mengajak saya berbicara?”
“Iya gadis kecil. Apa yang terjadi? Ceritalah,” bujukku. Ia duduk disampingku, bersender pada satu kakiku yang dingin. Ia kemudian terisak lagi. Jalanan saat itu sudah sangat sepi, hanya ada satu dua mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Ingin rasanya aku memeluk tubuh gadis kecil itu.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Daun. Ia bergerisik terkena tiupan angin.
“Kau bisa berbicara dengannya? Apa dia juga bisa berbicara padaku?” todong Trotoar.
“Hei gadis kecil? Kau mendengarku juga?” selisik Pot Bunga yang berada tak jauh darinya.
Si gadis kecil yang masih membenamkan muka di antara lipatan tangannya menyahut dengan suara parau. “Aku bisa mendengar kalian semua.”
Teman-temanku kaget. Mereka juga berekspresi sama denganku. Lalu, gadis kecil itu bercerita tentang asal muasalnya. Kami semua mendengarkan dengan seksama. Bahkan, Daun rela merontokkan diri untuk bisa jatuh di pangkuan gadis kecil saking tak inginnya kelewat satu kata pun.

****

“Tidak ada yang tidak mungkin, inspirasi bisa datang dari mana saja, siapa saja bahkan apa saja. Jika Anda mampu memimpikannya, maka Anda bisa melakukannya,” ucap seorang perempuan usia awal empatpuluhan. Setelahnya, terdengar tepuk tangan meriah dan beberapa orang mulai mengacungkan tangan. Berebutan untuk bertanya.
“Mbak Kirana, kami penasaran siapa yang menjadi inspirasi Anda?” tanya seorang wartawan.
“Dalam buku Anda, dikatakan bahwa ia yang selama ini membuat Anda bertahan dari 20 tahun kerasnya hidup di jalan dan bisa sukses seperti sekarang. Dimanakah ia sekarang?” todong wartawan lainnya.
“Apakah dia orangtua Anda? Suami Anda sekarang?” sahut sebuah suara di sudut ruangan diadakannya press conference.
Perempuan yang dipanggil Kirana hanya tersenyum. “Jika saya mengatakannya, Anda tak akan percaya. Orangtua saya telah tiada, suami saya memang menemani saya, tapi bukan dia tokoh di dalam cerita. Terima kasih atas waktu teman-teman semua,” jawabnya kemudian berdiri dan membungkuk sebentar. Berlalu bersama tiga orang lainnya, satu di antaranya adalah sang suami dan manajernya serta panitia seminar.

****

“Kau senang? Aku juga. Semoga kau terus membantu tanpa pamrih,” Kirana berbicara sendiri menghadap sebuah meja nakas di sisi ruangan. Tak lama seorang psikolog bernama Ayu membuka pintu. “Maaf membuatmu menunggu,” ucapnya.

“Kau selalu memiliki aura positif, tiap kali aku masuk ke ruangan ini dengan kau di dalamnya, aku selalu merasa senang,” sambung Ayu kemudian duduk tepat di sebelah kiri Kirana. “Ya, aku selalu merasa jika bisa mendengar mereka semua. Kadang aku merasa, benda mati seperti mereka lah yang justru merupakan sahabat terbaik.

Mampu menjadi pendengar yang baik tanpa cela, tanpa interupsi, selalu mengerti. Bukankah yang dibutuhkan manusia saat ia dirundung masalah adalah didengarkan? Itu yang aku dapatkan,” jelas Kirana sembari mengambil sebuah pigura di atas meja kayu di depannya. Mengelusnya perlahan.

Ia melangkah ke arah jendela kaca, menyibak tirainya, memandang lurus ke arah jalan raya. “Jalan itu sudah berubah, mereka sudah tiada, di sanalah awalnya aku bermula,” gumam Kirana, Ayu menangkap suara itu walau samar.


*diikutsertakan pada lomba cipta cerpen pada Pekan Jurnalistik Polnes 2015 lalu. Tidak meraih posisi tiga besar, namun dinobatkan sebagai cerpen terfavorit para juri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

OSIS & MPK SMAKENSA dimata para pengurusnya~

Kerajinan Manik Khas Kalimantan Timur

Drama Sebelum Berangkat, Magang Setneg (1)