Pers Indonesia. Teorimu Tak Sesuai Kelakuanmu


Oleh: Raden Roro Mira Budiasih

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Mengedepankan musyawarah diatas segalanya dan menerapkan asas-asas Pancasila. Hal itu tentu sering didengungkan oleh para pengajar mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan setiap senin kita ucapkan semasa sekolah dulu. Pancasila menjadi sumber segala prilaku dalam keseharian.

Namun nampaknya Pancasila hanyalah sebagai pengantar kala ke-5 silanya hanyalah barisan kalimat tanpa implementasi nyata. Bagaimana kita mampu benar-benar mengatakan bahwa diri kita adalah Indonesia ketika masih terdapat pengkotak-kotakan atau kubu-kubu yang mampu membuat jarak antar kita, antar Indonesia.
diambil digoogle
Etnosentrisme seperti menjadi ciri tiap budaya masing-masing. Mengedepankan ego dan kepentingan terhadap diri dan kebudayaan sendiri. Tak dapat dipungkiri lagi jika hal itu kini marak terjadi. Bahkan secara terang-terangan media menggambarkan atau memberitakan yang seharusnya tidak diberitakan.

Media dengan gamblangnya mempertontonkan dan menyuguhkan persepsi-persepsi negatif yang tentunya dapat menimbulkan isu Suku, Agama, Ras, Antar Golongan (SARA). Membiarkan khalayak memainkan interpretasi mereka terhadap apa yang terjadi. Bahkan dengan sengaja membiarkan audiensnya menanggapi efek yang salah tanpa memperhatikan inferential feedback berkaitan dengan berita yang disiarkan.

Contoh nyatanya tak usah dicari terlalu jauh. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Basuki Tjahtja Poernama atau biasa dipanggil Ahok. Ahok yang dulunya adalah wakil gubernur DKI Jakarta akan diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang sekarang telah resmi menjadi Presiden RI. Banyak kalangan organisasi masyarakat (ormas) yang menentang pelantikan Ahok menjadi gubernur. Dimana salah satu unsur SARA dibawa-bawa dan dijadikan alasan bahwa Ahok tidak pantas memimpin Ibukota Negara. Pikiran ‘kolot’ yang masih bercokol di masing-masing diri menjadikan argumen-argumen yang dibawa oleh salah satu ormas mengantarkan khalayak yang mau tak mau ikut berpersepsi yang sama.
 
Front Pembela Islam (FPI) yang terang-terangan menyatakan ‘perang’ terhadap Ahok. Dimana ketika sebuah keyakinan dijadikan alasan, maka tidak ada jalan lain selain ‘mengangguk’ terkait semua argumen dari FPI. Rakyat Indonesia masih percaya dengan stereotype, dimana ketika tidak mempercayai satu hal yang berkaitan dengan kepercayaan maka dianggap menyimpang dari aturan agama atau keyakinan yang dianut.

Lantas, kemanakah nilai-nilai Pancasila yang sudah susah payah dirumuskan oleh para proklamator? Kabur begitu saja ketika SARA mulai membayangi. Kemanakah nilai sila ke 1 yang menjadi tonggak terciptanya toleransi antar umat beragama? Tidak ada lagi pluralisme. Ketika non pribumi menjadi orang yang disegani, kenapa harus diperangi?

Melihat fenomena antara Ahok dan FPI haruslah membuat kita sadar bahwa Indonesia masih harus perlu menjadi ‘Indonesia’. Kita hidup dimasa, dimana sistem pers yang dianut adalah sistem pers liberal. Sistem pers di Indonesia dewasa ini telah menciptakan pluralisme media, yang pada hakekatnya merupakan tata komunikasi dam informasi dunia baru.

Seluruh media berlomba-lomba memberitakan segala kejadian yang dirasa cukup sensional dan menjadikan media sebagai ladang industri yang menjanjikan. Kondisi sistem pers yang terbentuk saat ini dalam ranah media di Indonesia tidaklah terlepas dari pengaruh dan campur tangan pihak asing, langsung maupun tidak langsung, dimana dominasi segelintir pemilik modal dalam industri pers Indonesia adalah juga bagian dari penetrasi dan ekspansi kapitalisme dan kekuasaan politik secara global.

Minat audiens sendiri terhadap pemberitaan kini juga ‘doyan’ mengkonsumsi pemberitaan-pemberitaan yang menyinggung hal-hal SARA. Dimana media masa kini sedikit banyak menerapkan kode etiknya sendiri yang berbeda dengan apa yang tertuang didalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan UU Pokok Pers no.21/1982. Kapitalisasi pers di tengah kemerdekaan pers ini juga tertuang dalam UU no 40/1999.
      
     Pers sejatinya dikatakan bebas, namun tidak sebebas-bebasnya. Harus terselip tanggung jawab terhadap apa yang diberitakan. Tanggung jawab terhadap masyarakat. Namun pemberitaan yang tidak sehat dan cenderung menyesatkan apalagi jika sudah menyinggung hal SARA dapat menjadikan masyarakat kita menjadi tidak lagi mempercayai media.

    Dalam institusi media, informasi tiada lain adalah komoditas yang sekedar untuk diperjualbelikan. Akibatnya, segala bentuk produksi pesan tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan pemilik modal. Sehingga pesan apa yang dianggap mampu menaikkan rating diolah sedemikian rupa dan disusun menurut pertimbangan institusi media melalui keputusan redaksi.

         Industri media massa apalagi di era sistem pers bebas saat ini bukanlah sekedar mencari untung. Walaupun nyatanya sistem pers ini memiliki tiga fungsi utama yaitu; memberikan informasi, menghibur dan mencari keuntungan. Sebab komoditas yang dijual berbeda dengan sepatu, pakaian, tas atau produk manufaktur lain. Isi media sebagian membentuk isi kepala konsumen.

     Oleh apa yang disiarkan media tersebutlah. Sehingga rentan terhadap hasutan dan provokasi dimana-mana yang mengakibatkan munculnya perbedaan dan keberagaman mulai dari gender, pluralisme atau egaliter dan multikulturalisme.

        Sudah sering kita melihat pemberitaan yang berisikan perang antar suku dan pelecehan terhadap kaum wanita. Bagaimana pemberitaan terhadap hal tersebut yang dapat mengundang kontroversi apabila tidak diliput dan disiarkan dengan layak. Salah-salah bisa menimbulkan perspektif baru di kalangan masyarakat.

Apa yang harus dilakukan?

       Menanggapi hal itu, pemerintah jika diperlukan dapat melakukan intervensi (asalkan demi kepentingan publik) dengan membuat regulasi untuk mengurangi isi media yang berbau kekerasan, pornografi, isu-isu SARA ataupun untuk menjadi pedoman dan rambu media dalam melaksanakan peran positifnya dalam masyarakat.

     Walaupun sebenarnya kata regulasi lebih identik dengan konotasi ‘mengatur’ atau usaha-usaha untuk membatasi kemerdekaan pers. Regulasi bisa dilakukan. Namun tentu saja ada batasannya. Yang perlu dipahami disini adalah regulasi yang dibuat tidaklah menggangu atau membatasi kemerdekaan pers.

     Regulasi dapat melindungi kepentingan umum (kepentingan masyarakat), melindungi kemerdekaan pers (misal: regulasi mengenai kepemilikan media justru menjamin adanya kebebasan pers dan kemerdekaan pers itu sendiri), melindungi kepentingan jurnalis. Regulasi tidak selalu berarti buruk karena kadang kala justru melindungi kepentingan media dan jurnalis. Dengan aturan yang jelas, jurnalis lebih mendapat jaminan dan perlindungan hukum.

       Masyarakat atau khalayak juga diharapkan dapat memilih saluran media yang cerdas. Bukan media yang memiliki kepentingan sendiri sehingga tidak memberitakan berita yang benar. Sekarang ini audiens dituntut untuk dapat cerdas dalam menikmati berita. Menginterpretasi segala hal-hal yang positif yang tentunya berguna untuk dirinya sendiri dan bermanfaat. Bukan berita yang hanya ingin ‘dijual’ oleh media, baik secara komersial maupun ideologi.

       Saya lebih menyoroti terhadap sistem dan dinamika komunikasi di Indonesia yang berkonsentrasi pada sistem pers yang terimplementasi. Walaupun pada dasarnya sistem pers yang dianut suatu negara biasanya tunduk pada sistem politik pemerintahan yang ada. Namun nyatanya teori yang dipakai dan kenyataan yang ada di lapangan sangat jauh melenceng. 

            Diharapkan regulasi yang dilakukan dapat menekan pemberitaan yang bersifat SARA dan lebih menghargai keberagaman. Karena Pancasila adalah untuk diimplementasikan dan bukan hanya sekedar omongan tanpa tindakan.

(referensi jurnal ilmiah ilmu komunikasi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

OSIS & MPK SMAKENSA dimata para pengurusnya~

Kerajinan Manik Khas Kalimantan Timur

Drama Sebelum Berangkat, Magang Setneg (1)