When you
Malam itu cuaca seperti
mendukung acara ‘malam minggu’ Farra. Bulan bersinar sangat terang,
bintang-bintang bak taburan meses cerres
yang sama halnya pada saat Mama menyiapkan roti bakar coklat kesukaan Farra
pagi tadi. Awan mendung tak terlihat menghiasi langit seperti malam kemarin.
Farra telah siap dengan pakaian kebanggaannya. Walau hanya skinny jeans hitam,
cardigan panjang dengan warna ungu muda, kaos putih bertuliskan ‘Aku Cantik
seperti Mama’ dan sepatu kets putih melengkapi penampilannya malam itu. Rambutnya yang panjang ia
gerai begitu saja, tapi poni kebanggaannya lah yang ia atur sedemikian rupa
sehingga wajahnya makin terlihat manis.
Farra terlalu bersemangat. Hingga setengah jam sebelum Rafin datang. Ia telah duduk dengan manis di depan teras rumahnya. Sambil sesekali tersenyum-senyum saat mendengar nada PING di handhphonenya. Ia sedang BBM’an dengan Anggi dan Tomi, sahabatnya sejak di bangku Menengah Pertama. Farra menceritakan bagaimana awal Rafin menyatakan perasaannya sore tadi di Warung Mie Ayam mbok Narsih, tempat langganan Anggi, Farra dan Tomi nongkrong. Bagaimana Rafin menggenggam erat tangannya dan berkata “Ra, mau ya jadi pacarku”. Bagaimana mbok Narsih memberi selamat kepada Farra dan Rafin dengan 2 mangkuk gratis Mie Ayam dan sukses membuat Farra nambah lagi. Bagaimana Rafin mengecup lembut keningnya saat mengantar Farra seusai makan di depan rumah Farra. Dan bagaimana mereka janjian untuk kencan malam ini. Dan Farra tampak semangat, terlalu semangat malahan.
Farra melirik jam tangan couple yang ia beli bersama Anggi 2 bulan lalu berbentuk Hello Kitty. Sudah pukul 7 lewat. Tapi Rafin belum muncul-muncul juga di jalanan depan rumahnya. Farra beranjak dari tempatnya duduk dan berjalan pelan melewati gerbang rumah. Ia celingak celinguk seperti sedang mencari sesuatu, ia mencari sosok Rafin dengan motor Ninjanya. Ia mencari Rafin diantara kesunyian komplek perumahannya.
Nggi. Rafin kok
belum dateng ya? ini kan udah jam 7 lewat 10 :$
PING!
PING!
PING!
Ahh,
bawel lu Ra. Emang janjian jamber?
Jam
7 pas.
Yeee,
baru juga 10 menit. Cwok emang suka ngaret. Yauda, pantengin aja. Ntar juga dateng. Gd luck ya sayong ({})
Baterai handphone Farra sudah hampir habis. Padahal sebelum bersiap-siap, ia sudah sangat yakin bahwa sudah full charge. Ya ini sudah akibat jika paket BBM-nya aktif. Waktu juga sudah menunjukkan pukul 8 kurang 10 menit. Tapi Farra masih tetap menunggu. Bukan, dia menanti. Dia menanti Rafin. Karena dia yakin, Rafin akan datang. Malam itu seharusnya mereka pergi ke bioskop. Tiket sudah mereka pesan. Farra sudah membayangkan dan merencanakan apa saja yang akan mereka lakukan bersama malam ini. Tapi rencana itu berantakan. Dan ia masih menunggu Rafin. Bukan, dia menanti Rafin.
“Sekarang pasti filmnya udah mulai” gerutu Farra sambil
terus memperhatikan jam tangannya. Ia duduk memeluk lututnya. “Telepon ku juga
gak diangkat sama Rafin.” Gerutunya lagi. Kali ini ia berdiri lagi dan melihat
keluar gerbang. Jalanan masih sama seperti yang ia lihat 40 menit lalu. Sepi.
Ia berharap suara motor Rafin yang berisik itu akan datang. Tapi hingga akhirnya
komplek
perumahannya sudah benar-benar sepi.
Rafin belum juga tiba. Farra akhirnya menyerah. Ia masuk kembali ke dalam
rumah. Mama yang sedang menonton acara keluarga dengan Papa menatap anak
bungsunya itu heran. Farra berjalan lesu ke arah kamarnya dan membanting
tubuhnya ke atas kasur. Ia memejamkan matanya, butiran kristal itu mengalir
tanpa bisa ditahan.
****
“Hey. Yang kemarin malem satnite!” teriak Anggi tepat pada saat Farra
memasuki kelas. Untung saja pagi itu hanya ada Anggi dan Tomi. Karena siswa
yang lain sibuk mengisi perut di kantin. Tomi menyambut Farra dengan senyum,
yang disambut membalas dengan senyum kecut.
“Lho. Kenapa Tut?” tanya Tomi. Tomi biasa memanggil Farra
dengan kentut. Bukan karena Farra suka melakukan hal itu. Tapi Tomi terbiasa
memanggil Farra dengan Far, yang kemudian ia pelesetkan menjadi Fart yang dalam Bahasa Inggris artinya
kentut.
Farra masih belum menanggapi pernyataan Anggi dan kemudian duduk di bangkunya. Ia pun menjawab pertanyaan Tomi dengan air mata. “Yah. Cengeng lagi kan. Lo udah 17 tahun Tut! Cengeng amat!” sembur Tomi kemudian meninggalkan kedua sahabatnya itu. Anggi terdiam, Tomi memang tidak suka dengan cewek lemah. Yang bisanya cuma nangis kalo lagi ada masalah. Tomi gak habis pikir, apa dengan menangis, semua masalah akan selesai? Perempuan memang freak! Pikir Tomi dan pergi menuju kantin.
“Astaga Ra! Jadi Rafin semalam gak dateng ke rumah lo?
Astaga! Lo masih nungguin? Ck! Pulang sekolah kita ke kelasnya. Lo telpon juga
gak diangkat kan? Banci!” omel Anggi sambil menyilangkan tangan di dadanya. Ia
mulai curiga dengan Rafin. Berulang kali Anggi meyakinkan Farra untuk berpikir
lagi tentang keputusannya menerima Rafin. Tapi Farra tidak menggubrisnya. Ya
sudahlah. Ini yang terjadi sekarang.
“Engh Nggi. Gak usah kekelasnya aja. Pulang sekolah ini
dia juga mau ngajak aku ke warung mbok Narsih lagi. Mau ngejelasin soal kemaren
malem” jawab Farra menghapus titik-titik air mata yang membekas di pipinya. Dan
tepat saat itu, Tomi masuk membawa 3 botol minuman dingin dan 2 buah bakpao.
“Kalo lo nangis. Lo pasti buang energy. Kalo lo buang energy,
berarti lo laper! Jadi gue bawain Bakpao ayam kesukaan lo Tut”, Tomi pun
meletakkan bawaanya didepan Farra. Farra melahap makanan favorit keduanya
setelah Mie Ayam. “Thans Tom. Kamu emang paling
bisa nyenengin aku.”, sebuah senyum mengakhiri statement Farra. Membuat perasaan tergetar di hati Tomi. Membuat
Tomi salah tingkah dan tersenyum kikuk. Anggi bisa menangkap perilaku itu. Ia
tersenyum geli. Tomi…Tomiiii, Anggi
menggeleng-gelengkan kepalanya.
****
“Kali ini itu anak bakal gue hajar Tut! Kemaren sore lo
nunggu sampai 3 jam Tut? Yang buat janji siapa, yang ingkar siapa.” Oceh Tomi
tepat saat Farra menghambur masuk ke kamar Anggi dengan berderai air mata. Sore
itu mereka belajar bersama di rumah Anggi untuk tugas kelompok dari Pak Agus mengenai
Limbah. “Nggi. Rafin anak Volly yang IPA 3 itu kan?” tanya Tomi.
“Bukan. Bukan Rafin yang itu. Masa Rafin yang item dan
sedikit kumisan itu?” protes Farra. “Arafin Tira Putra. IPS 2. Yang suara
motornya paling ribut seantero sekolah.” Lanjut Farra lagi. Tomi tertawa
cekikikan.
“Ya ampun Tut. Lo nangis masih sempat aja ya ngebela
makhluk itu? Tadi gue cuman bercanda aja lagi.”. Farra pun menghenyakkan
pantatnya di atas tempat tidur Anggi. Kembali ia menangis.
“Astaga Tut! Baru juga diem. Nangis lagi. Kantong air
mata lo berapa liter sih?” oceh Tomi lagi. “Haa? Emang kita punya kantung air
mata? Dimana?” Farra meraba-raba wajahnya. Merasakan pipinya yang bulat. Tomi
dan Anggi tersenyum geli,
“Ini kantong air mata lo.” Ucap Tomi sambil menyentuh kedua
pipi chubby Farra. Kontan pipi Farra
memerah. Tomi lagi-lagi salting. Mereka berdua menunduk malu.
“Woy!” teriak Anggi menyadarkan mereka berdua. Tomi
melepaskan tangannya dari pipi Farra, kemudian mengambil LKS IPA didepannya dan
sibuk membolak-balik halamannya. Anggi tau, Tomi sedang salting. Farra yang
pada dasarnya polos terdiam memandang Tomi dengan tatapan aneh.
“Enggg. Tom.” Farra memanggil Tomi. Yang dipanggil
menoleh kikuk. “Ya. Kenapa Far?”, Far?
Tumben Tomi bener manggil Farra batin Anggi diakhiri senyum jahil.
“LKSnya kebalik tuh. Emang bisa kebaca?” tanya Farra
polos menunjuk LKS ditangan Tomi. Tomi cengo. Jelek sekali wajahnya. “HAH?”,
Tomi membuka mulutnya, utuh membentuk huruf O. Farra terdiam dengan alis
terangkat sebelah. Anggi menebah dahinya. “Ya ampun Tom. Ahahaha”, tawa Anggi
berderai. Tomi ngacir ke luar ruangan. “Aku mau ke WC Nggi”. Dan Tomi hilang
dibalik pintu kamar Anggi.
“Far.. tau gak!” seru Anggi tiba-tiba kemudian duduk
disamping Farra. Farra membetulkan letak bandonya, “Apaan? Oia Nggi. Menurut
lo. Gue ini cewek aneh ya? bloon sama telmi. Makanya Rafin kayak gitu? Tomi
juga gitu. Gue emang cewek yang susah dapet pacar kayaknya. Bener kata lo Nggi.
Rafin cuman mau mainin gue deh. Mana ada cowok yang mau deket apalagi suka sama
gue”, bibir Farra mengerucut. Anggi tersenyum mendengar jawaban Farra. “Ada kok
cowok yang tulus suka sama lo Far.” Anggi tersenyum lebar. Sambil membayangkan
wajah Tomi yang memerah seperti udang rebus diluar sana.
“Siapa? Jangan bilang si Dio. Anak IPA 1 yang produksi
air liurnya berlebih. Iuhhh.” Farra mendadak jijik. Dio, anak labil penghuni XI
IPA 1. Yang sejak awal MOS begitu tergila-gila pada Farra saat Farra tak
sengaja menemukan sapu tangan milik Dio di tangga menuju ruangan MOSnya. Entah
bagaimana bisa, sejak saat itu. Dio selalu menunggu Farra dibawah tangga sambil
membawa kotak bekal dan berkata “Farraaaaa. Makan bareng yukkkk” dengan suara
khas anak cowok belum akil baligh. Farra rasa, anak ini kelebihan suatu hormon.
“Ahaha. Kalo Dio gak usah diraguin lagi Far. Tapi biar
gitu, anak itu pinter tauk. Jago bikin puisi lagi. Ohhh Farradilla Wijaya,
kaulah bidadari yang turun dari surgaaa” ucap Anggi kemudian menirukan suara
serta gaya khas Dio saat ia membacakan puisi saat perlombaan class meeting.
“Ihh. Anggi ah! Ehh, siapa sih cowok yang lo maksud?”
balas Farra dengan nada serius. “Ahh, masa lo gak nyadar sih?”, beberapa detik
kemudian, Farra kembali menepuk dahinya. “Astaga, lo kan telmi. Jadi percuma
juga gue kasih tahu.”, tepat saat itu, Tomi masuk.
Anggi mengedipkan sebelah matanya. Farra bingung.
“Eh. Kalian ngomongin apaan? Ngomongin gue ya?” tanya
Tomi kemudian menggusur posisi Anggi.
“HAH? Jadi lo suka sama gue Tom?” sembur Farra tiba-tiba
sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Tomi. Dan untuk kesekian
kalinya, Anggi menepuk dahinya. Tomi terdiam, alisnya menyatu, hidungnya
kembang kempis. Dan sepersekian detik selanjutnya, Anggi tertawa geli.
“Lo ngo.. ngomong apa Tut? Apaan sih ini Nggi?”, Tomi
bergantian menatap wajah kedua sahabatnya. “Astaga Farra. Lo kalo begok jangan
keterlaluan kenapa?” dan Anggi kembali melanjutkan tawanya kemudian beranjak
pergi, “Eh, gue.. gue mau ambil minum dulu ya. hihi. Ahahaah”, Farra menghapus
setitik air mata yang jatuh. Ia akan menangis jika ia sedang tertawa hebat.
Sepanjang perjalanannya menuju dapur, masih terdengar cekikikan. Kini hening
mengisi ruangan kamar Anggi.
Tom. Ini saatnya, ini saatnya. Batin Tomi. Ia melihat Farra sedang sibuk dengan blackberry-nya. Tomi menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
“Tom..”, “Tut..” suara mereka bersamaan.
“Lo duluan..”, sama-sama lagi.
“Raffin sms gue Tom! Dia bener-bener minta maaf sama gue
soal kejadian akhir-akhir ini.” Sembur Farra. Senyum khas Farra mengembang di
sudut bibirnya, membuat senyum dan tekad Tomi hilang. “Oh. Terus?”, cuma
kata-kata itu yang keluar dari mulut Tomi.
“Ya… ya.. gak boleh ya?” tanya Farra tiba-tiba. Tomi
menghembuskan nafas kesal.
“Farra. Lo suka banget sama Rafin?”, Farra mengangguk.
“Dianya?”, Farra menggeleng lemah “Kayaknya gak Tom”, Tomi duduk menghadap
Farra. Jarak mereka hanya 50 senti.
“Kadang lo gak harus duduk dan menunggu di satu pintu
yang sama setiap harinya. Menunggu pintu itu bener-bener terbuka dan nerima lo
masuk kedalamnya. Lo gak mau noleh kebelakang dan mastiin ada sebuah pintu yang
terbuka lebar hanya untuk lo? Harusnya lo sadar itu.
Jangan mengharapkan apa yang lo ingin, tapi lo harus cari yang lo butuh.” Tomi
mengakhiri penjelasannya dengan senyum. Farra terdiam.
“Lo seharusnya ngerti apa maksud gue. Gue harap lo jangan
blo’on Far.” Ucap Tomi lagi sambil mengelus lembut puncak kepala Farra.
“Gue gak seharusnya nunggu Rafin dan berharap dia suka
sama gue. Tapi gue butuh orang kayak elo kan? Yang gak pernah gue ingini, tapi lo
ada saat gue butuh? Yang bisa ngertiin gue.”, tumben Farra berkata benar. Dan
secara gak sengaja Farra berkata kalau dia juga suka pada Tomi.
“Maaf Tom. Selama ini gue malu sama diri gue sendiri. Gue
susah kalo gue mau ngungkapin, kalo gue, gue suka sama elo. Anggi sering cerita
sama gue. Dan berarti Anggi nyomblangin kita dong? Jadi yahh, gue suka sama lo
Tom. Maaf ya. Gue jadi bertingkah o’on didepan lo. Gue gak seharusnya kayak
gitu. Gue sadar, cuman lo yang bener-bener bisa ngertiin gue, lo yang..”, kini
Farra berada dalam pelukan Tomi. Rasanya nyaman, rasanya aman, rasanya tentram.
Farra membalas pelukan Tomi. Air matanya jatuh berlelehan.
“Gue suka waktu lo ngomong. Lo ngomong kayak gak ada
habisnya. Gue suka kalo lo nyeletuk jauh dari obrolan kita. Gue suka waktu lo
dengan lahapnya makan bakpao. Pengen rasanya gue nyubit pipi lo itu. Gue suka
waktu lo manyun. Itu lucu banget Far.’. tomi melepaskan pelukannya.
“Lo paling suka kalo gue?” tanya Farra menghapus bekas
air mata di pipinya.
“Kalo lo mau dengerin apa kata gue dan tetep dengerin apa
kata gue.”
Anggi tersenyum sambil menitikkan air mata dari balik
pintu kamarnya.
Lo juga harusnya
ngerti Tom. Gak seharusnya lo nunggu pintu yang sama. Walau sekarang pintu itu
terbuka seutuhnya buat lo. Lo harusnya merhatiin kalo masih ada pintu yang
benar-benar terbuka lebar tanpa lo nunggu. Punggung tangannya menghapus
jejak air mata yang mengalir.
“Wah.. PBJ!” teriak Anggi masuk, kemudian meloncat di
atas tempat tidurnya. Tomi hanya tertawa.
Komentar
Posting Komentar