Ketika MOS Saat Itu, Ingat Kan?


Matahari pagi yang menyelinap di sela-sela jendela membangunkan ku. Ku edarkan pandangan ke arah sekeliling kamar. Dan ekor mataku terhenti pada sebuah pigura yang terdapat di dalam kardus. Warnanya sudah sedikit pudar. Aku beranjak dan mengambil pigura itu.

Semalam aku memberes-bereskan lemari yang sudah hampir 6 tahun tidak pernah ku benahi sejak aku pertama kali pindah ke rumah ini. Dan disana aku menemukan sebuah foto berukuran close up terpajang rapi di pigura yang aku buat sendiri dari sisa-sisa kain perca yang ku tempelkan pada pinggiran bingkai pigura itu. Manis sekali, aku tempelkan boneka hati berukuran kecil yang ku buat sendiri dari kain flanel. Pigura itu di dominasi warna ungu kesukaan ku. Di dalam pigura itu terpajang foto sepasang sahabat. Kami mengenakan seragam batik sekolah. Foto itu diambil ketika hari kamis pada saat pulang sekolah dengan menggunakan kamera SLR milik temanku. Ia sedang mengetes kamera yang baru saja ia beli 2 hari lalu dengan menjadikan kami sebagai modelnya.



Foto kami disitu layaknya sepasang kekasih. Dia dengan mesranya mengacak rambut ku dan memamerkan barisan gigi putihnya, sedangkan aku dengan wajah cemberut berusaha melepaskan cengkeraman tangannya di puncak kepala ku. Foto itu begitu hidup. Begitu nyata. Pada saat itu, aku memang menginginkan kenyataan itu. Di kaki foto itu tertulis R+R 19 Oktober 2004. Sudah 9 tahun lalu.

Namanya Arfi. Aku mengetahui namanya sejak SMP. Tapi aku baru benar-benar mengenalnya sejak kami sama-sama menjadi pengurus OSIS di SMA. Nama panjangnya Muhammad Zuamarfi Rayhan. Entah kenapa ia dan orang tuanya memilih kata Arfi untuk panggilannya, padahal menurutku dia lebih cocok jika dipanggil Rayhan. Makanya aku memanggil dia Rayhan, diantara sekian teman lain yang memanggil Arfi.
            “Rayhan!” teriak ku ketika anak-anak kelas X mengerubunginya untuk meminta tanda tangan. Hari itu hari ketiga MOS di sekolah. Rayhan yang menjabat sebagai Wakilnya Felix sang Ketua OSIS tentu ikut populer. Karena adanya peraturan untuk para anak baru yang mana harus mendapatkan semua tanda tangan para pengurus OSIS dan MPK (Majelis Perwakilan Kelas) terutama Felix, Rayhan, Dio sebagai Ketua Umum MPK dan aku sebagai wakil Dio.
Anak-anak baru itu lalu membiarkan aku duduk disamping Rayhan yang sedang kewalahan menghadapi tumpukan buku di hadapannya untuk di tanda tangani.
        “Ciyeee. Yang jadi artis. Sudah ketahuan ya identitasnya?” oceh ku. Rayhan hanya memamerkan senyum manisnya. “Siapa nama kakak ini dek?” tanya ku pada kerumunan anak-anak baru itu. Serentak mereka menjawab “Ka Muhammad Zuamarfi Rayhannnnn..”. Aku hanya bisa tertawa. Karena diantara kami sudah membuat perjanjian, siapa yang identitasnya ketahuan duluan akan mentraktir bakso di kantin. Ku tepuk pundak Rayhan, “Aku tunggu Baksonya ya..” teriak ku sambil berlalu meninggalkan Rayhan.
          “Iya Ka Roro Miraaaa.” Teriak Rayhan tak kalah nyaring. Serentak anak-anak baru itu balik mengerumuni ku, terlihat senyum jahil Rayhan tersungging di bibir tipisnya itu. Aku tersenyum kikuk.
         “Kakak kak Roro?” tanya seorang anak cewek yang rambutnya penuh dengan kepangan dengan hiasan pita kado berwarna oranye cerah dan membawa papan nama Dian Sasmita itu.
        “Kakak? Kak Raden Roro Mira Putri yang jabatannya itu mhhh….”, anak laki-laki disebelah Dian Sasmita yang rambutnya belah tengah, eh, semua anak baru terutama cowok, rambut mereka belah tengah yah? Hmm, aku baru sadar. Dan cowok di depan ku ini sibuk membolak-balikkan kertas di tangannya “Wakil Ketua Umum MPK itu kak? Bagi tanda tangan dong kak, tanda kaki juga gapapa deh, cap bibir juga boleh kak, atau tanda apa aja yang penting dari kak Roro. Ya,  ya kak? Pacar kak Roro aja mau ngasih tanda tangan.” Celoteh Rahadian Putra Wijaya menunjuk Rayhan yang masih sibuk menandatangani buku anak-anak. Mendengar kata ‘pacar’ telinga ku menjadi lebih sensitif. Duh, Rayhan dengar tidak ya? Batinku. Ku lihat Rayhan masih sibuk dengan tumpukan buku dan kertas di depannya. Aku pun memilih lari dan terjadilah adegan kejar-kejar’an antara aku dan murid-murid baru itu. Rayhan lagi-lagi tersenyum di sela-sela kerumunan murid-murid baru itu.
Aku bukannya sombong tidak mau tanda tangan. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan menandatangani satupun buku diantara ratusan buku itu. Ahhh, Dio! Ya Dio! Dia bisa mengalihkan murid-murid baru ini. Ku lihat Dio sedang berjalan menyusuri lorong kelas bersama Niko dan Gema. 3 sekawan itu bingung melihat ku berlari diikuti anak-anak dengan pakaian dan aksesoris paling menonjol itu, seketika ku teriakkan “Dio Rahman!”, yang ku maksud mencegat lari ku. Gema yang badannya paling besar diantara 3 sekawan itu menenangkan anak-anak baru.
            “Ini.. hhh.. kak Dio Ketuanya Kakak. Ini Kak hhh Niko koordinator seksi 3 dan hhh ini kak, kka Gema wakilnya kak Niko dek. Nahh, hhh, selamat bertanda tangan ya kawan!” aku kembali berlari. Tinggallah 3 orang tak tahu apa-apa itu menjadi amukan murid baru. Haha. Ku lihat Gema menggeleng-gelengkan kepalanya.

Huft. Aku berlari menuju RuPa alias Ruang Panitia. Oh tidak! Banyak anak baru di depan pintu yang dijaga ketat oleh Bagus dan Hanung. Segera ku terobos kerumunan anak baru haus tanda tangan itu. Hanung tersenyum manis ketika aku tiba di hadapannya, yaaa manis sekali. Senyuman bocah yang lebih muda setahun dari ku itu sangat manis, lebih manis dari senyum Rayhan kepadaku. Ah! Kenapa disaat seperti ini aku masih memikirkan Rayhan? Bukankah dia yang membuat ku begini! Tak ingin aku melihat batang hidungnya lagi kalau begini, rutuk ku dalam hati.
            “Darimana kak?” tanya Bagus. Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Segera saja ku masuk dan ahh! Rayhan! Hah? Cepat sekali dia? Kenapa dia bisa ada di ruang panitia? Bukankah dia tadi berada di depan ruang OSIS? Jarak dari ruang OSIS ke ruang panitia itu bukannya ahh, kenapa juga aku harus sibuk dengan pikiran ku sendiri tentang Rayhan! Ahh! Buang-buang waktu saja. Disamping Rayhan Leony menempel dengan mesranya. Jantung ku serasa berhenti berdetak sedetik. Ahh! Aku cemburu? Tidak!
        “Ehh, si Ratu Pantai Selatan udah datang rupanya.” Ucap Felix padaku. Segera saja aku mengambil tempat di samping Felix tepat dipojok ruangan.
“Kalo Nyi Roro Kidul denger, bisa mampus lo!” ucapku sambil menggeser tempat duduk Felix yang melantai. Yang ditegur hanya cengengesan. Rayhan pun menghampiri ku dan yak! Kini aku diantara Ketos dan Waketos. Aku tak menggubris Rayhan yang duduk disebelahku. Aku meraba-raba saku rok ku untuk mencari tisu, tapi tak juga ku temukan. Tiba-tiba saja selembar tisu menempel di hidung ku yang berkeringat. Arahnya dari atas. Aku mendongak, dan ternyata ada Noviar disana yang memberikan tisu padaku.
            “Gue tahu gerak-gerik lo. Lo pasti butuh tisu kan? Nah, sebagai lelaki sejati dan tulen. Aku relakan tisu terakhir ku itu hanya untuk mu seorang.” ucapnya sok romantis lalu melanjutkan makan siangnya, semangkuk penuh bakso dan segelas es teh. Bakso! Aku teringat janji Rayhan. Ku senggol pelan dia. Walau aku sedang tak ingin bertegur sapa dengannya, tapi perutku sudah meronta-ronta minta diisi.
            “Bakso?” ucapku pelan. Rayhan menoleh, “Sekarang?”, aku memberi isyarat ‘Iya’ dengan anggukan kepala ku.
            “Kamu liat gak diluar? Banyak anak baru gitu. Emang mau? Saat kamu makan, mereka duduk di sekeliling mu untuk minta tanda tangan?” tanya Rayhan tanpa melepaskan pandangan matanya ke arahku. Ahh, andai aku es krim, pasti aku sudah meleleh dan luber di lantai diantara sepatu Rayhan dan Felix. Lho? Aku ini kenapa? Bukannya aku membenci Rayha? Eh, benci? Apa itu yang aku rasakan padanya?
            “Fi! Lo udah puas dengan Bella dan Neni?” tanya Leony menyebutkan 2 nama anak baru yang sedang dikerjain di ruang panitia karena ulang tahun. Rayhan tidak mendengarkan kata-kata Leony. Karena ia masih menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa balas menatapnya dengan tatapan ‘Aku maunya sekarang!’. Seketika Rayhan menarik lenganku,
            “Fel, suruh keluar aja tu anak baru. Gue mau makan siang dulu bareng si Bawel.” Dan berlalu meninggalkan Felix. Leony menatapku tak senang. Yaaa. Leony sudah lama menaruh hati pada Arfi.
            “Eh! Maksud mu si bawel itu aku?” tanya ku. “Ngerasa kan?”
Ahh! Rayhan memang pandai berkata-kata. Diterobosnya Bagus dan Hanung, lalu seperti menarikku menuju kantin. Dibelakang kami pun terdengar kata-kata yang udah seharian ini aku denger “Kaaak, tanda tangan kaaak..” Rayhan tak menanggapi.
            “Ihh! Sombong banget sih kak Arfi itu! Itu siapa emang? Pacarnya kak Arfi ya? Dari kemaren buku ku juga gak ditanda tangani! Kita kek yang diperhatiin. Malah mesra-mesra’an sama pacarnya! Huh!” dengar ku samar-samar. Rayhan refleks menoleh. Genggaman tangannya menguat. Ia berhenti.
            “Siapa yang bilang tadi?” teriaknya. Anak-anak baru itu berlarian, kecuali satu orang yang bernama Kiki Faramita.
            “Sa...Saya ka.” Ucapnya dengan nada bergetar.
            “Kalo saya gak mau tanda tangani buku kamu. Masalah  buat kamu?”, Kiki menggeleng,
            “Kalo saya mau mesra-mesra’an dengan kakak ini. Masalah juga buat kamu?”, lagi-lagi anak baru itu menggeleng. Semua orang yang ada disana memperhatikan tingkah Rayhan yang seperti anak-anak itu. Muka ku bersemu merah mendengar pertanyaan Rayhan barusan.
            “Dan kalo saya mau ke kantin dengan pacar saya. Masalah?”,
         “Gak kak.” Ucap Kiki pelan berusaha menahan air matanya. Rayhan kembali menarikku, bukan, dia merangkul ku dan membiarkan aku dapat mengendus aroma cologne yang ia pakai. Biarpun sudah tengah hari, aku tak mencium aroma keringatnya. Hanung dan Bagus heran melihat tingkah kakak kelasnya itu. Padahal Rayhan dikenal sebagai kakak kelas yang pendiam dan ramah.

Dan kalo saya mau ke kantin dengan pacar saya. Masalah?. Kalimat itu terus menari di kepalaku. Aku memang terlalu takut dan lemah jika harus bertanya kepada Rayhan tentang ‘hubungan apa yang kita jalani selama ini?’.
****
Kejadian tempo lalu sudah menyebar di seantero SMA Harapan. Hari ini hari ke-5 MOS, tepatnya hari terakhir. Di sini kami para pengurus OSIS dan PK memperkenalkan nama kami dan demo ekskul serta kreativitas dari setiap ruangan dari anak-anak baru itu.

Aku sedang berjalan menyusuri setiap ruangan MOS sambil memantau kegiatan para koordinator ruangan karena itu memang tugas ku sebagai penanggung jawab koordinator ruangan di event MOS ini.
            “Cieee Rorooo. Tinggal tunggu PBJ aja nih.” Felix menghampiri ku dan merangkul ku dari belakang. Aku tersentak kaget.
         “Iya nihh! PBJ ya Den!” tiba-tiba Rayhan ikut merangkul ku. Rayhan memang biasa memanggil Raden diantara teman lain yang memanggil ku Roro.
            Sontak Felix memukul bahu Rayhan,
            “Yang PBJ itu elo sama Roro Fi! Kok lo ikut-ikutan?” ucap Felix diikuti tawa Rayhan. Aku hanya merasa risih karena 2 makhluk adam ini lagi-lagi mengepit ku diantara mereka. Aku malu karena beberapa anak-anak baru yang sedang membersihkan kelas, mereka sedang memperhatikan ku. Eh bukan, mereka memperhatikan Felix dan Rayhan.
            “Ihh! Apasih! Sudah sana, kalian bantu temen yang lain di lapangan. Bantu pak Harun buat nyiapin sound demo ekskul band gih.” Pungkasku sambil mendorong mereka, sebelum mereka tahu mukaku bersemu merah dan mendengar degup jantung ku yang bergemuruh karena perkataan Felix.
****
            Di lapangan...
            Ketika acara terakhir, yaitu setiap kelas memberikan hadiah atau apalah ke setiap pengurus Panitia MOS. Baik itu sebagai kakak terjahat, terganteng, tercantik, terbaik dan ter-ter yang lain. Untuk Rayhan dan Felix saingan dalam mendapatkan predikat kakak terganteng. Sedari tadi aku menerima banyak coklat dan boneka karena mereka memberiku cap kakak terbaik walau aku tak memberi satu pun tanda tangan untuk mereka ketika 4 hari kegiatan MOS berlangsung, haha.
            Dan seorang anak baru, ahh! Anak itu bernama Putra, Rahadian Putra Wijaya. Maju ke depan diikuti beberapa anak baru yang lain. Mereka membentuk sebuah formasi di hadapan barisan Panitia MOS.
            “Tes.. microfonenya udah nyala nih?” ucap Rayhan dan suaranya menggema. Rayhan berdiri di tengah-tengah formasi yang dipimpin Putra itu. Rayhan? Mau apa dia? Semua panitia MOS heran. Rayhan kan anaknya pemalu?
            “Kamu adalah matahari malam, penghapus sinar beribu bintang. Maka waktu tak lagi perlu, jika kamu selalu berdiri di ujung mimpi-mimpiku. Beri aku segelas air, biar ku lunasi utang dahaga yang senantiasa tertunda” ucap Rayhan. Diikuti sorakan para Panitia yang lain. Puisi itu pernah ku dengar, ya.. itu adalah penggalan puisi di novel karya Nora Umres dengan judul ‘Dekat di mata jauh di Hati’. Eh, ungkapan itu sepertinya sangat pas dengan aku dan Rayhan. Kami sangat dekat, tapi hati kami jauh. Kami seperti 2 orang yang berbeda jika bertemu dan bercanda seperti biasa. Tapi jika sudah di dunia maya, hmm. Kami akan berperang kata-kata dengan mengenai ‘hubungan apa yang kita jalani selama ini?’. Yah. Kami sama-sama tahu perasaan masing-masing. Tapi kami juga sama-sama ragu untuk saling mengungkapkan.
            “Aku mulai terbiasa denganmu. Sebaris hari yang berlalu begitu bermakna. Memintal rasa nyaman yang setia menggelitik rindu tanpa enggan. Bersamamu pula, kunikmati senyuman sepolos bidadari.”, usai Rayhan mengucapkan barisan puisi yang romantis banget itu, formasi anak-anak baru itu mengeluarkan potongan-potongan huruf bertuliskan ‘TEMANI HARI-HARI KU’.
            “Temani hari-hari ku dengan senyuman mu, Raden!”, seketika semua Panitia berteriak “TERIMA!”. Para anak baru itu juga meneriakkan kata yang sama. Aku didorong oleh Gema untuk menghampiri Rayhan.
 Ahhh, apa ini? Rayhan menyatakan perasaannya? Lewat puisi dan sekonyol ini? Setahu ku Rayhan sangat tak suka dengan sastra, tapi mengapa ia ahhh! Aku dan Rayhan terlalu sering menarik ulur perasaan hingga 2 tahun ini. Aku terlalu tidak peka dengan semua perhatian Rayhan padaku akhir-akhir ini. Dan kata-kata dia 2 hari lalu adalah sebuah penegasan mengenai perasaannya padaku.
            “Ketika MOS saat itu... ingat kan?” ucapku ketika Rayhan menghampiri ku yang masih memegangi pigura ungu. Rayhan tersenyum, senyum yang sama saat ia dimintai tanda tangan oleh anak-anak baru hari itu. “Senyuman sepolos bidadari telah jadi milikku seutuhnya dan untuk selamanya”, ia memeluk ku dari belakang. Aku dapat merasakan tangan-tangan kuatnya yang telah 6 tahun ini menjaga ku.
            “Mamaaaa....” teriak bocah perempuan berumur 4 tahun dari ambang pintu. Lalu lari menghambur ke pelukan orang tuanya. Keluarga kecil yang sangat bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

OSIS & MPK SMAKENSA dimata para pengurusnya~

Kerajinan Manik Khas Kalimantan Timur

Drama Sebelum Berangkat, Magang Setneg (1)